Picture
Untuk pertama kalinya sejak mendapat amanah sebagai khalifah, Khalifah Umar bin Khaththab berkhutbah di hadapan manusia seraya mengatakan, “Aku mendapatkan kabar bahwa manusia takut terhadap ketegasanku dan takut terhadap kekerasanku.”

Mereka mengatakan, ‘Umar bersikap keras kepada kita ketika Rasulullah SAW masih berada di tengah-tengah kita. Kemudian dia bersikap keras kepada kita ketika Abu Bakar menjadi pemimpin kita; lalu bagaimana halnya jika dia menjadi pemimpin?’

”Siapa yang mengatakan demikian, maka ia berkata benar. Sesungguhnya aku bersama Rasulullah -SAW sebagai hamba dan pelayannya, dan beliau adalah orang yang sifatnya tidak melampaui dari kelunakan dan kasih sayang.

Allah telah memberinya nama demikian, dan memberikan kepadanya dua nama dari nama-nama-Nya: Ra’uf Rahim (yang belas kasih dan penyayang). Sedangkan aku adalah pedang yang terhunus, hingga beliau menyarungkan aku atau membiarkanku. Aku terus seperti itu hingga Rasulullah wafat dalam keadaan beliau ridha kepadaku, alhamdulillah.

Dan aku sangat berbahagia dengan hal itu. Kemudian Abu Bakar memimpin urusan kaum muslimin, dan dia adalah orang yang tidak kalian pungkiri kemurahan dan kelembutannya. Aku sebagai pembantunya dan pembelanya, aku campurkan kekerasanku pada kelembutannya. Aku adalah pedang yang terhunus hingga dia menyarungkanku atau membiarkanku, dan aku terus seperti itu. Aku tetap demikian bersamanya hingga dia wafat dalam keadaan ridha kepadaku, dan aku sangat bahagia dengan hal itu.

Kemudian aku memimpin urusan kalian, wahai manusia, dan ketahuilah bahwa kekerasan ini semakin bertambah berlipat-lipat, tetapi itu hanyalah berlaku atas kezhaliman dan melampui batas terhadap kaum muslimin.

Adapun ahli keselamatan, agama dan keutamaan (yakni, kaum yang taat beragama), maka aku lebih lunak kepada mereka daripada sebagian mereka atas sebagian yang lain. Aku tidak membiarkan seseorang menzhalimi selainnya atau melampui batas terhadapnya, hingga aku meletakkan pipinya di atas tanah dan aku meletakkan telapak kakiku di atas pipinya yang lain hingga ia tunduk kepada kebenaran.

Kalian mempunyai hak terhadapku, wahai manusia, beberapa perkara yang akan aku sebutkan kepada kalian, maka ambillah hal itu dariku: Kalian punya hak terhadapku agar aku tidak menyembunyikan sedikit pun dari pajak kalian, yaitu harta rampasan (tanpa melalui peperangan, fai’) kecuali karena wajah-Nya.

Tetapi aku berhak, jika harta itu aku peroleh, untuk tidak dikeluarkan kecuali dengan haknya. Kalian punya hak terhadapku agar aku tidak mencampakkan kalian dalam kebinasaan. Jika kalian ingin bepergian, maka aku adalah bapak keluarga yang ditinggalkan hingga kalian kembali kepada mereka. Aku cukupkan perkataanku ini, dan aku memohon ampun kepada Allah untukku dan untuk kalian.” [Umar ibn Al-Khaththab Al-Watsiqah Al-Khalidah li ad-Din Al-Khalid, Abdul Karim Al-Khathib]. Adakah pemimpin yang setegas Umar bin Khattab hari ini? Wallahua’lam.


 
Picture
Suatu ketika Rasulullah SAW bangun dari tidur dalam keadaan memerah mukanya, beliau lalu berkata, “La ilaha illallah, celaka orang-orang Arab karena keburukan telah dekat, telah terbuka hari ini benteng penghalang Ya’juj dan Ma’juj [seperti ini beliau melingkarkan antara ibu jari dengan telunjuk], lalu ditanyakan, “Apakah kita akan dibinasakan, padahal ada orang-orang shalih di tengah-tengah kita?” Beliau menjawab, “Ya, jika al khabats telah merajalela.” (HR. Al-Bukhari-Muslim).

Kata al-khabats dalam hadits ini memiliki makna segala perbuatan yang merupakan bentuk kemaksiatan terhadap Allah, serta dilakukan kapan saja dan di mana saja, (banyak dijumpai di setiap waktu dan tempat).

Hadits tersebut menjelaskan, bahwa jika kemaksiatan telah tersebar dan merajalela, maka artinya iman menjadi sesuatu yang sangat minoritas, kebaikan dan keberkahan rizki telah lenyap, rasa aman tidak ada lagi, banyak terjadi huru-hara dan wabah penyakit. Sementara itu kesia-siaan menjadi sesuatu yang mendominasi, keadaan masyarakat berubah total, kemungkaran dianggap kebaikan, sedangkan kebaikan menjadi sesuatu yang diingkari. Inilah salah satu tanda akan keluarnya Ya’juj dan Ma’juj yang merupakan satu di antara sekian per-tanda, bahwa Kiamat telah di ambang pintu.

Ini merupakan indikasi, bahwa apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW di atas telah mendekati kenyataan. Beliau telah memberitahukan kepada kita beberapa tanda dekatnya hari kiamat yang terjadi di akhir zaman. Di antara tanda-tanda kiamat antara lain; pertama,  orang tidak memperhatikan halal dan haram.

Dalam Shahih al-Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh akan datang kepada manusia ini suatu masa, di mana seseorang sudah tidak peduli lagi, bagaimana caranya mendapatkan harta, apakah secara halal ataukah dengan cara haram.”

Termasuk katagori mencari harta secara haram adalah dengan memprak-tekkan riba dan rentenir. Tidak dapat kita pungkiri, bahwa sektor muamalah, ekonomi dan bisnis kini telah didomi-nasi oleh sistem ribawi, yaitu dengan bermunculannya bank-bank dan lem-baga perkreditan yang mempraktek-kan riba atau pun person-person yang berprofesi sebagai rentenir.

Kedua, waktu terasa pendek. Nabi SAW bersabda, “Tidak akan terjadi kiamat, sehingga waktu menjadi terasa pendek.” (HR. Al-Bukhari). Setahun mejadi terasa sebulan, sebulan seperti seminggu, seminggu bagaikan sehari, sehari terasa sejam dan sejam bagai semenit.

Para ulama berbeda pendapat tentang arti lafal taqarub az-zaman (waktu menjadi pendek) dalam hadits di atas. Di antar, di antara pendapat-pendapat tersebut adalah sedikitnya keberkahan di dalam waktu (umur).

Ada juga yang mengatakan cepatnya hari-hari berlalu. Dikarenakan beragamnya sarana transportasi dan komunikasi, sehingga yang jauh menjadi terasa dekat.

Dalam hadis lain, Nabi SAW bersabda, “Hari Kiamat tidak terjadi sehingga fitnah tersebar, banyak kebohongan dan pasar-pasar saling berdekatan.” (HR. Ahmad). Wallahu’alam.


 
Picture
“Sesungguhnya, yang dapat membinasakan orang-orang sebelum kamu adalah, apabila ada dari kelompok yang terhormat melakukan pencurian, maka ia terbebas dari had (hukumannya), sedang apabila dari kelompok yang lemah melakukan pencurian, maka mereka menegakkan had (hukumannya) dengan (memotong tangannya). Demi zat yang diriku dalam kekuasaan-Nya, seandainya Fatimah binti Muhammad melakukan pencurian, pasti akan aku potong tangannya.” (HR. Muttafaq Alaih).

Mencuri selain merupakan perbuatan tercela juga merupakan dosa besar yang sangat dilarang dalam Islam. Secara umum yang dinamakan dengan mencuri adalah mengambil hak milik orang lain yang disimpan tanpa minta izin kepada pemiliknya. 

Salah satu contoh mencuri adalah melakukan korupsi. Korupsi merupakan salah satu bentuk pencurian terhadap hak milik negara atau rakyat kecil. Termasuk dalam kategori mencuri adalah menyalahgunakan tanggung jawab untuk meraih sesuatu yang bisa diraihnya.

Mencuri, selain meresahkan kehidupan bermasyarakat, juga merupakan perbuatan menzalimi diri sendiri dan orang lain. Pelakunaya kelak akan mendapat siksaan dari Allah SWT baik di dunia maupun di akhirat. Allah SWT berfirman, “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan kedua-duanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al Maidah: 38).

Dalam ayat di atas, Allah SWT menetapkan hukuman untuk memotong tangan orang yang mencuri. Secara psikologis hukum memotong tangan orang yang mencuri lebih berat dari bentuk hukuman dalam bentuk apapun. Memotong tangan dalam Islam bukanlah bentuk kekejaman melainkan sebagai bukti mulianya syariat Islam. Tujuannya, membuat jera bagi pelaku dan orang yang punya niat mencuri.

Namun demikian, tidak setiap pencuri harus dipotong tangannya. Sebab ada tingkatan-tingkatan dalam jumlah yang dicurinya. Rasulullah SAW sudah memberi batasan yang jelas dalam masalah ini. Nabi SAW bersabda, “Janganlah kamu sekali-kali memotong tangan pencuri yang mencuri nilainya kurang dari seperempat dinar.” (HR. Muslim).

Dalam hadis lain dari Aisyah radiallahu’anha, katanya, “Adalah Rasulullah SAW memotong tangan pencuri yang nilainya sampai seperempat dinar atau lebih.” (HR. Muttafaq Alaih).

Jika satu dinar dirupiahkan berkisar Rp 32.000,- sampai Rp 40.000,- maka bagaimana dengan orang yang tega melakukan  pencurian uang negara atau rakyat  kecil dengan jumlah milyaran rupiah? Pantaskah mereka dibiarkan lolos, dinyatakan tidak bersalah atau dihukum sebatas formalitas semata?

Ingat, negeri ini juga lambat laun akan hancur jika para penegak hukum membiarkan para orang terhormat melakukan korupsi dan membebaskan mereka dari hukuman,  sementara mereka (penegak hukum) akan segera menghukum jika yang mencuri itu dari orang lemah di antara mereka (rakyat kecil). Wallahua’lam.


 
Picture
Hubbur riyasah (cinta kekuasaan) adalah salah satu syahwat yang sering menimpa manusia. Bagi orang yang terkena penyakit ini, kekuasaan, jabatan dan segala yang mengiringinya berupa popularitas dan ketenaran merupakan tujuan utama hidupnya.

Tentang cinta kekuasaan ini Rasulullah SAW telah bersabda, "Dua ekor serigala yang dilepas kepada seekor domba tidak lebih parah kerusakannya bagi domba itu, bila dibandingkan ketamakan seseorang terhadap harta dan kekuasaan dalam merusak agamanya." (HR. Tirmidzi).

Al-Hafidz Ibnu Rajab ketika menjelaskan hadis ini mengatakan, "Rasulullah SAW memberitahukan bahwa ketamakan seseorang terhadap harta dan kedudukan akan merusak agamanya, dan kerusakan itu tidak lebih kecil daripada kerusakan akibat keberingasan dua serigala terhadap seekor domba. Bisa jadi sepadan atau mungkin lebih besar. Ini mengisyarat kan bahwa tidak akan selamat agama seseorang jika dia tamak terhadap harta dan kekuasaan dunia, kecuali sangat sedikit (yang bisa selamat darinya). Seperti halnya seekor domba tidak akan selamat dari keberingasan dua ekor serigala yang sedang lapar, kecuali sangat sedikit sekali.”

Perumpamaan yang agung ini mengandung peringatan yang keras tentang keburukan sikap cinta terhadap harta dan kedudukan dunia, hingga beliau mengatakan, "Adapun tamaknya seseorang terhadap kedudukan maka itu lebih membinasakan daripada ketamakannya terhadap harta.

Karena ambisi mencari kedudukan, kekuasaan dan kemuliaan dunia untuk mengungguli (merasa tinggi) di atas sekalian manusia lebih berbahaya bagi seseorang daripada ambisi terhadap harta. Menahan diri dari hal tersebut sangatlah lebih sulit, karena untuk mencari kedudukan dan kekuasaan biasanya seseorang rela mengorbankan harta yang amat banyak." (Syarah hadis, ma dzi'baani jaai'aani hal 7,13).

Ibnu Rajab menambahkan, "Tamak terhadap kemuliaan dunia ada dua macam; pertama, mencari kemuliaan dunia dengan kekuasaan  (power), dan harta. Ini semua sangat berbahaya karena pada umumnya akan menghalangi pelakunya untuk mendapatkan kebaikan dan kemuliaan di akhirat.

Abul Farraj Ibnul Jauzi juga telah memberikan nasehatnya, "Wahai saudaraku hendaklah kalian selalu perhatian terhadap lurusnya niat, tinggalkan berbuat kebaikan karena ingin disanjung manusia, jadikan tiang penyanggamu adalah istiqamah bersama yang haq. Dengan itu para salaf menjadi tinggi dan berbahagia." (Akhlaqul 'ulama' oleh al-Ajuri hal 157).

Ada dua penyebab mengapa seseorang begitu cinta dengan kekuasaan. Pertama dengan kekuasaan itu dia bisa semaunya memerintah dan melarang serta mengatur urusan manusia. 

Kedua, dengan kekuasaan itu dia bisa mencari kemuliaan dunia dan kedudukan dengan hal-hal yang terkait dengan agama, seperti ilmu, amal ibadah dan kezuhudan. Ini lebih buruk dari yang pertama. Karena ilmu dan amal hakikatnya hanya untuk mencari derajat yang tinggi di sisi Allah SWT. wallahu a’lam.


 
Picture
Ghuluw ada dua macam, perkataan dan perbuatan. Ghuluw dalam bentuk perkataan (sanjungan dan pujian) ada tiga macam. Pertama, ghuluw yang bisa membatalkan tauhid lantaran termasuk syirik besar. Misalnya mengatakan bahwa Nabi SAW mampu menolak mudharat atau bisa mendatangkan manfaat, berdoa kepadanya, meminta bantuan terhadapnya dan sebagainya.

Kedua, ghuluw yang bisa menghilangkan kesempurnaan tauhid karena termasuk syirik kecil. Seperti bersumpah dengan menyebut nama-nama orang shalih tersebut atau mengatakan:  "Atas kehendak Allah dan kehendak si fulan." Ketiga,  ghuluw yang diharamkan. Contohnya memberikan sifat-sifat baik yang orang tersebut tidak memilikinya. Misalnya mengatakan, ia  seorang pemberani padahal pengecut dsb.

Sementara, ghuluw dalam perbuatan juga ada tiga macam;  pertama, ghuluw yang bisa membatalkan tauhid karena termasuk syirik besar. Seperti ruku', sujud dan bertawakkal kepada  orang shalih atau lainnya. Kedua, ghuluw yang bisa menghilangkan kesempurnaan tauhid lantaran termasuk syirik kecil. Seperti shalat karena Allah di sisi kubur orang shalih dsb. Ketiga, ghuluw yang diharamkan, namun tidak  sampai pada perbuatan syirik besar maupun kecil. Misalnya membangun kuburan orang shalih atau lainnya, menemboknya, menghiasinya dsb.

Berlebihan terhadap figur tertentu dengan hanya mendasarkan pada hal-hal yang sifatnya duniawi adalah sikap keliru.  Ironisnya, realitas ini banyak terjadi di tengah masyarakat muslim. Yang lebih mengenaskan, banyak umat Islam yang ikut terhadap kemauan figur yang dikaguminya, meski harus mengorbankan agama, melanggar ajaran Allah dan menuhankan selainNya.

Kita banyak menyaksikan sikap ghuluw (berlebih-lebihan) yang dilakukan orang terhadap figur yang dihormati dan dipujinya tidak sebatas dalam ucapan dan visi. Tetapi secara total ia  hibahkan hidupnya untuk membela figur yang dicintainya itu. 

Bagaimana agar figurnya menjadi pemimpin (meskipun tidak pantas memimpin). Bagaimana agar figurnya mendapat loyalitas dari masyarakat (meski masyarakat muak dengannya), serta usaha-usaha lain dengan segala macam cara; uang, kekuasaan, kekerasan, teror, intimidasi dan sebagainya untuk menggolkan keinginannya.

Nabi SAW bersabda, "Jauhilah sikap berlebihan, karena sesungguhnya sikap berlebihan itulah yang telah menghancurkan umat-umat sebelum kamu." (HR. Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah).

Maka sikap yang benar dalam memperlakukan orang-orang shalih adalah dengan mencintai, menghormati dan meneladani mereka dalam hal kebaikan-kebaikan yang mereka miliki. Juga dengan membantah orang yang menjelek-jelekkan mereka, tetapi dengan tetap meyakini bahwa mereka tidaklah ma'sum (terpelihara  dari dosa dan kesalahan).

Jika menghormati orang-orang shalih secara berlebihan seperti yang dilakukan kaum Nuh AS berimplikasi pada pemberhalaan orang-orang shalih tersebut (Qs. At-Taubah: 31), maka bagaimana dengan penghormatan berlebihan kepada obyek yang salah dan dengan cara dan sarana yang salah pula?  Wallahu’alam.


 
Picture
"Seutama-utama wanita ahli surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Maryam binti Imran dan Asiyah binti Muzahim." (HR. Ahmad).

Khadijah binti Khuwailid, adalah wanita yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang terhormat sehingga mendapat tempaan akhlak yang mulia, sifat yang tegas, penalaran yang tinggi, dan mampu menghindari hal-hal yang tidak terpuji sehingga kaumnya pada masa jahiliyah menyebutnya dengan ath thahirah (wanita yang suci).

Dia merupakan orang pertama yang menyambut seruan iman yang dibawa Muhammad SAW tanpa banyak membantah dan berdebat, bahkan ia tetap membenarkan, menghibur, dan membela Rasulullah SAW di saat semua orang mendustakan dan mengucilkannya.

Khadijah ra telah mengorbankan seluruh hidupnya, jiwa dan hartanya untuk kepentingan dakwah di jalan Allah. Ia rela melepaskan kedudukannya yang terhormat di kalangan bangsanya dan ikut merasakan embargo yang dikenakan pada suami dan para sahabatnya.

Pribadinya yang tenang membuatnya tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan mengikuti kebanyakan pendapat penduduk negerinya yang menganggap Muhammad SAW kala itu sebagai orang yang telah merusak tatanan dan tradisi luhur bangsanya. Karena keteguhan hati dan keistiqomahannya dalam beriman inilah Allah SWT berkenan menitipkan salam kepadanya lewat Jibril dan menyiapkan sebuah rumah baginya kelak di surga.

Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah, ia berkata: Jibril datang kepada Nabi SAW kemudian berkata: “Wahai Rasulullah, ini Khadijah datang membawa bejana berisi lauk pauk, makanan dan minuman. Maka jika ia telah tiba, sampaikan salam untuknya dari Rabbnya dan dari aku, dan sampaikan kabar gembira untuknya dengan sebuah rumah dari mutiara di surga, tidak ada keributan di dalamnya dan tidak pula ada kepayahan." (HR. Al-Bukhari).

Besarnya keimanan Khadijah ra pada risalah nubuwah, dan kemuliaan akhlaknya sangat membekas di hati Rasulullah SAW sehingga beliau selalu menyebut-nyebut kebaikannya walaupun Khadijah ra telah wafat. Diriwayatkan dari Aisyah, Nabi SAW berkata: "Rasulullah hampir tidak pernah keluar dari rumah sehingga beliau menyebut-nyebut kebaikan tentang Khadijah ra dan memuji-mujinya setiap hari sehingga aku menjadi cemburu maka aku berkata: ‘Bukankah ia seorang wanita tua yang Allah telah menggantikannya dengan yang lebih baik untuk engkau?’

Maka beliau marah sampai berkerut dahinya kemudian bersabda, ‘Tidak! Demi Allah, Allah tidak memberiku ganti yang lebih baik darinya. Sungguh ia telah beriman di saat manusia mendustakanku, dan menolongku dengan harta di saat manusia menjauhiku, dan dengannya Allah mengaruniakan anak padaku dan tidak dengan wanita (istri) yang lain. Aisyah berkata, Maka aku berjanji untuk tidak menjelek-jelekkannya selama-lamanya."

Subhanallah, betapa mulia budimu wahai Khadijah. Semoga saja, pancaran akhlak agungmu mampu menjadi inspirasi para wanita sepanjang masa dalam berkhidmat kepada suami dan keluarganya.

 


 
Picture
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman:”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (Qs. 24: 30).

Imam Ibnul Qayyim menyebutkan di antara empat macam pintu masuknya syetan untuk menjerumuskan manusia adalah pandangan mata. Empat pintu tersebut adalah; lahazhat (pandangan mata), khatharat (angan-angan), lafzhat (ucapan lisan), dan khuthuwat (langkah kaki).

Lahazhat atau pandangan mata adalah adalah pandangan yang mengikuti hawa nafsu dan memberi kebebasan kepadanya. Padahal menjaganya adalah pangkal terjaganya kemaluan. Rasulullah SAW sabdanya, "Janganlah engkau ikuti padangan dengan padangan berikutnya, karena untukmu adalah padangan yang pertama, sedangkan selanjutnya bukan untukmu." (HR. Ahmad).

Nabi SAW juga melarang duduk-duduk di pinggir jalan. Maka para shahabat bertanya, "Bagaimana jika kondisi mengharuskan untuk itu (duduk di pinggir jalan)?” Maka Nabi SAW menjawab, "Jika engkau memang harus melakukan itu, maka berikanlah hak jalan." Para shahabat bertanya, "Apakah hak jalan itu?”

Beliau menjawab, "Menahan pandangan, tidak mengganggu orang dan menjawab salam." (Muttafaq 'alaih). Pandangan adalah sumber berbagai bencana yang banyak menimpa manusia, karena pandangan akan melahirkan angan-angan, lalu angan-angan melahirkan pemikiran, pemikiran melahirkan syahwat, dan syahwat memunculkan keinginan, lalu keinginan itu makin menguat hingga menjadi azam (tekad), akhirnya terjadilah perbuatan, jika tidak ada yang menghalangi. Maka dikatakan bahwa bersabar untuk menahan pandangan lebih ringan dibanding bersabar menahan derita setelahnya.

Pandangan seperti anak panah yang meluncur terus dan tidak akan sampai pada sasaran sebelum orang yang memandang menyediakan tempat untuknya di dalam hati. Kemudian setelah itu pandangan tersebut menggoreskan luka dalam hati, lalu disusul lagi dengan luka yang lain sebagai tambahan atas luka yang sebelumnya. Akhirnya pedihnya luka pun tak dapat terhindarkan lagi karena pandangan yang terulang terus menerus tiada henti.

Dalam hal ini, Ibnu Qoyyim pernah mengatakan, "Karena sumber kemaksiatan itu dimulai dari pandangan, maka Allah SWT mendahulukan perintah menundukkan pandangan daripada perintah menjaga kemaluan.

Karena berbagai kejadian buruk itu dimulai dari padangan, sebagaimana api yang besar berasal dari percikan yang kecil. Maka dimulai dari pandangan, lalu menjadi angan-angan, lalu langkah kaki dan terakhir melakukan dosa.”

Momentum Ramadhan kali ini, semoga bisa menjadi jalan bagi setiap muslim untuk lebih menjaga pandangannya dari apa-apa yang diharamkan Allah SWT untuk memandangnya. Sebab bukan tidak mungkin, pandangan yang dilepas karena mengikuti hawa nafsu akan menjerumuskan pelakunya dalam kubangan dosa. wallahua’lam. 

 
Picture
Dagang merupakan salah satu pekerjaan yang sangat mulia, bahkan Nabi SAW dan sebagian shahabat adalah para pedagang profesional. Namun di sisi lain Rasulullah SAW memperingatkan kita, bahwa tempat terburuk yang dibenci Allah adalah pasar.

Tentu bukan pasarnya yang salah, namun penghuninya, penjual dan pembelinya. Berapa banyak pedagang yang sibuk dengan dagangannya sehingga meninggalkan shalat dan dzikrullah, berapa banyak kecurangan, penipuan, riba dan berbagai kejahatan terjadi di pasar.

Seorang yang akan terjun ke dunia dagang maka sebaiknya mempelajari fikih perdagangan dan muamalah. Sebab tidak diragukan lagi, bahwa orang yang tidak belajar masalah tersebut kemudian terjun ke dunia dagang dan bisnis, maka sangat mungkin akan terjerumus ke dalam keharaman.

Ali bin Abi Thalib Ra berkata, "Seorang pedagang jika tidak mengetahui hukum, maka akan terjerumus ke dalam riba, tenggelam dan tenggelam." Sedangkan Umar bin Khatthab Ra mengatakan, "Siapa yang tidak faham masalah agama janganlah sekali-kali berdagang di pasar kami."

Ungkapan kedua Khalifah di atas menegaskan betapa pentingnya bagi seorang muslim yang hendak menjadi pedagang atau yang berprofesi pedagang mengetahui syari’at Islam.  Tujuannya, agar tidak terjadi keharaman dalam melakukan transaksi perdagangan.

Di antara adab dagang yang di ajarkan Islam antara lain; pertama, jujur. Nabi SAW bersabda, "Pedagang yang jujur dan terpercaya bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada." (HR. At-Tirmidzi). Hadis lain menyebutkan, "Dua orang yang berjual beli memiliki khiyar (hak pilih) sebelum keduanya berpisah, jika mereka berdua jujur, maka jual belinya mendapatkan berkah. Dan jika keduanya menyembunyikan cacat serta bedusta, maka hilanglah keberkahannya." (Muttafaq 'alaih).

Kedua, toleran dan mempermudah urusan. Rasulullah SAW bersbada, "Semoga Allah merahmati seorang hamba yang toleran apabila menjual, toleran jika membeli dan toleran dalam tuntutan." (HR. Bukhari).

Ketiga, jangan menipu. Masyarakat Islami ditegakkan di atas amanah, sistem yang bersih, nasehat menasehati dan meninggalkan segala bentuk penipuan dan kecurangan. Menipu dapat melenyapkan berkah, mendatangkan murka dan siksa Allah SWT serta menjerumuskan ke dalam api neraka. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang menipu, maka bukan termasuk golongan kami." (HR. Muslim).

Keempat, jangan curang dalam takaran dan timbangan [Qs. 83: 1-3]. Kelima, tidak menimbun barang. Nabi SAW bersabda, "Barangsiapa yang menimbun barang, maka dia telah berdosa." (HR. Muslim). Keenam, jangan bersumpah palsu. Nabi SAW bersabda, "Sumpah yang buruk (dusta) melenyapkan barang perdagangan dan menghalangi berkah penghasilan." (HR. Muttafaq 'alaih).

Ketujuh, tidak melakukan riba [Qs. 2: 278-279]. Nabi SAW bersabda, "Allah melaknat orang yang memakan (pemakai) riba, orang yang memberi riba, dua orang saksi dan pencatat (dalam transaksi riba), mereka sama saja." (HR. Muslim dan Ahmad). Wallahua’lam.


 
Picture
“Dan Sempurnakanlah ibadah haji dan umrah kalian untuk Allah“. (Qs. Al-Baqarah: 196). Haji merupakan ibadah yang menampakkan sisi ‘ittiba’ aspek peneladanan kepada Nabi SAW yang paling ketara. Sedikit saja dari amaliah haji seseorang yang bertentangan dengan yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW bisa berakibat kepada sisi ‘mabrurnya’ haji seseorang terkurangi, bahkan tidak tercapai.

Rasulullah SAW bersabda, “Ambillah dariku manasik haji”. Haji merupakan salah satu media pembelajaran ketakwaan dan ‘madrasah’ ibadah yang paling penting. Disini akan nampak kuatnya hubungan dan pertalian hati seseorang dengan Allah yang merupakan harta kekayaan orang yang bertakwa dan modal orang yang ahli beribadah. Dalam hal ini, tauhid yang lurus merupakan buah sekaligus motivasi seseorang memenuhi undangan ke Baitullah.

As-Sa’di mengatakan, ayat di atas (Qs. Al-Baqarah: 196) mengandung perintah untuk  melaksanakan haji dengan ikhlas dan sebaik-baiknya sehingga mencapai kesempurnaan. Perintah ikhlas merupakan penjabaran dari nilai tauhid seseorang yang benar kepada Allah SWT.

Dalam perjalanan ibadah haji, ada beberapa aspek tauhid yang terekam, di antaranya; pertama, Talbiyah yang merupakan syiar ibadah haji yang mengandung makna meng-Esa-kan Allah dan meniadakan sekutu bagi-Nya dalam setiap amalan. Sahabat Jabir ra. meriwayatkan bahwa Nabi SAW bertalbiyah meng-Esa-an Allah dengan banyak mengucapkan doa yang artinya, “Ya Allah, Aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu.Tiada sekutu bagi-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu.

Sesungguhnya segala puji, kenikmatan dan juga kekuasaan hanyalah kepunyaan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu”. (HR. Muslim). Talbiyah inilah yang paling banyak menyertai perjalanan haji seseorang yang mencerminkan kesiapan seseorang untuk senantiasa mentauhidkan Allah dalam seluruh kehidupannya.

Tentu ini mengingatkan mereka agar senantiasa berada dalam koridor ‘tauhid’ kepada Allah SWT. Kedua, Nabi menekankan untuk beramal dengan ikhlas serta berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari sifat riya’ (memperlihatkan amal perbuatan kepada orang lain) dan sum’ah (memperdengarkan amal kepada orang lain).

Hadis riwayat Anas ra menyebutkan bahwa Nabi SAW berdoa yang artinya, “Ya Allah, Ku tunaikan haji ini, maka jadikanlah hajiku ini tanpa riya’ dan sum’ah”. (HR. Ibnu Majah).

Ketiga, selain dari aktifitas fisik, maka aktifitas terbanyak dalam ibadah haji adalah doa. Dalam ibadah haji, doa mendapatkan tempat yang istimewa bagi Nabi SAW Rasulullah berdoa memohon kepada Allah ketika tawaf (HR Abu Daud).

Ketika berada di bukit Shafa dan Marwah. Bahkan beliau memanjangkan doa pada hari Arafah. Beliau juga ketika berada di atas untanya mengangkat kedua tangan hingga pada bagian dada seperti seorang fakir menengadahkan tangan meminta-minta.

Demikian pula di Muzdalifah sebagai al-Masy’ar al-Haram, Rasulullah memperpanjang munajat sesudah shalat fajar di awal waktu hingga menjelang matahari terbit. (HR. Muslim). Wallahua’lam.


 
Picture
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah saling mendengki, saling menipu, saling membenci, saling memutuskan hubungan dan janganlah sebagian kamu menyerobot transaksi sebagian yang lain, jadilah kalian hamba-hamba ah yang bersaudara.

Seorang muslim itu saudara muslim yang lain, tidak boleh menzhaliminya, membiarkannya (tidak memberikan pertolongan kepadanya), mendustainya dan tidak boleh menghinakannya. Taqwa itu berada di sini, beliau menunjuk dadanya tiga kali. Cukuplah seorang (muslim) dianggap (melakukan) kejahatan karena melecehkan saudara muslimnya. Setiap muslim atas muslim lain haram darahnya, hartanya dan kehormatannya". (HR. Muslim dan Ibnu Majah).

Hadis di atas mengajarkan kepada setiap muslim sebagian hal-hal yang bisa menjadi penyebab rusaknya ukhuwah Islamiyah. Perusak ukhuwah seperti disebutkan di atas penjelasannyara lain; pertama, larangan saling mendengki. Berkata Ibnu Rajab Al-Hambali dalam kitabnya Jami'ul Ulum wal Hikam, "Tidak boleh saling mendengki sebagian kalian terhadap sebagian yang lain. Dengki yaitu perasaan tidak suka kalau ada orang lain mengunggulinya dalam salah satu keutamaan yang dimilikinya".

Kedua, larangan saling menipu. Menurut Ibnu Rajab Al-Hambali dalam kitabnya Jami'ul Ulum wal Hikam berkata, "Banyak sekali ulama yang menafsirkan kata'an-najsy' di sini dengan arti meninggikan penawaran harga barang yang dilakukan oleh orang yang tidak akan membelinya, mungkin untuk memberikan manfaat bagi penjual dengan adanya tambahan harga, atau untuk mencelakakan pem beli dengan meninggikan harga yang harus dibayar.

Ketiga, larangan saling membenci. Asy-Syaikh Al-'Allamah Al-Imam Muhammad Hayat As-Sindi berkata, "Janganlah kalian melakukan apa yang akan menyebabkan saling membenci karena itu akan menyebab kan bermacam-macam kerusakan di dunia dan bencana di akhirat."

Keempat, larangan saling memutuskan hubungan (silaturahim). Al-Imam Al-'Allamah Ibnu Daqiqil 'Ied berkata, "Makna 'tadabaru' adalah saling bermusuhan, dan ada pula yang mengatakan saling memutuskan hubungan karena masing-masing saling membelakangi."

Kelima, larangan menyerobot transaksi saudara sesama muslim. Asy-Syaikh As-Sindi berkata, "Ada salah seorang di antara kamu mengatakan kepada orang yang mena war dagangan orang lain, 'tinggalkan lah, aku akan jual kepadamu dengan harga yang lebih murah', atau menga takan kepada orang yang hendak menjual dagangannya kepada sese orang, 'tinggalkanlah, aku kan membeli darimu dengan harga yang lebih tinggi'."

 Semua perbuatan yang disebutkan dalam hadis di atas menafikan ukhuwah Islamiyah, karena seorang mukmin itu mencintai apa yang dicintai untuk saudaranya seperti apa yang dicintai untuk dirinya.

 Nabi SAW bersabda, "Perumpamaan orang-orang mukmin dalam saling cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan kasih-mengasihi seperti tubuh, jika salah satu anggota tubuh terasa sakit, maka seluruhnya tidak akan bisa tidur dan demam." (Muttafaq 'Alaih). Wallahua’lam.